Sabtu, 17 Januari 2009

Pembelajaran Menulis Puisi dengan Metode Michael Rifaterre

Oleh: Salam
(Dosen FBS UNM)

Abstrak: Kompe­tensi menulis puisi dimaksudkan agar siswa dapat mengguna­kan bahasa dengan tujuan untuk memahami, mengembangkan, dan meng­komunikasikan gagasan dan informasi, serta un­tuk berintegrasi de­ngan orang lain. Puisi dapat mendorong siswa untuk bermain dengan kata‑kata, menafsirkan dunianya dengan suatu cara baru yang khas, dan menyadari bahwa imajinasinya dapat menjadi konkret bila ia dapat memilih kata‑kata dengan cermat untuk ditulis dalam puisi. Di samping itu, siswa juga diharapkan dapat me­ma­hami dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif di lingkungannya agar dapat menghargai karya seni, budaya, intelektual, serta dapat menerapkan nilai‑nilai luhur meningkatkan kematangan pribadi menuju masya­rakat beradab. Menulis puisi dengan metode Michael Riffaterre merupakan metode yang memung­kinkan siswa dapat mengalami suatu proses pembelajaran yang terarah dan menyenangkan. Dalam pelak­sa­naan pembelajaran, siswa akan dipandu mulai dari tahap penggalian ide, penentuan ide, penulisan, sampai pada tahap penyajian.
Kata-kata kunci: Pembelajaran puisi, Apresiasi sastra, Metode Michael Riffaterre

Tujuan pembelajaran sastra adalah agar siswa mempunyai penga­laman berekspresi sastra. Pengalaman berekspresi sastra ini di­lakukan seba­gai kegiatan mengembangkan daya imaji, rasa, dan daya cipta. Pengalaman ekspresi sastra ini akan lebih tepat bila diintegra­sikan dengan keterampilan menulis. Misalnya menulis puisi.
Kegiatan menulis puisi adalah kegiatan yang bersifat produktif‑kreatif. Kegiatan ini dilaksanakan melalui suatu proses yang dinamakan proses kreatif. Rampan (2001:11) menyatakan bahwa proses kreatif mengalir di dalam suasana kreatif yang memungkinkan lahirnya karya‑karya yang secara bahasa indah dan dari segi pernikiran cukup mendalam. Sejalan dengan pendapat di atas, Mulyati (2002:28) menyatakan bahwa proses kreatif berkembang jika terdapat empat unsur terkait. Unsur‑unsur tersebut adalah (1) pengenalan pribadi dan pengeta­huan, (2) dorongan internal dan eksternal siswa, (3) kebermaknaan belajar, dan (4) hasil yang bernilai bagi orang lainl. Dengan terpenuhinya keempat unsur kreatif tersebut, kegiatan pembelajaran menulis puisi akan mencapai hasil yang maksimal.
Dalam kegiatan menulis puisi, siswa perlu mendapat suatu arahan se­hingga memudahkannya dalam proses pembelajaran. Sukristanto (2002:554) me­ngemukakan bahwa kemampuan menulis puisi dapat dicapai dengan bimbingan yang sistematis serta latihan yang intensif. Siswa hendaknya diarahkan dan di­bimbing tahap demi tahap tentang apa yang harus dilakukannya. Proses pelaksa­naan menulis puisi sebaiknya memperhatikan tahap‑tahap kreativitas yang dike­mukakan oleh Rhodes (Endraswara, 2002:218) yaitu tahap preparasi, inkubasi, iluminasi, dan. verifikasi. Pada tahap preparasi, dilaksanakan kegiatan pengum­pul­an data atau informasi yang akan dijadikan bahan penulisan. Tahap inkubasi dilakukan dalam usaha untuk mengendapkan atau mematangkan ide‑ide yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya. Tahap iluminasi merupakan tahap pelahiran ide, gagasan, atau pengalaman ke dalam bentuk puisi. Tahap yang ter­akhir adalah verifikasi, yaitu kegiatan menilai puisi hasil karya sendiri.
Selain melalui suatu proses yang saling menunjang, pembelajaran menulis puisi juga sebaiknya mempertimbangkan. karakteristik siswa. Kesesuaian karak­teristik siswa tersebut berkaitan dengan perkembangan jiwa, kemampuan bahasa, dan lingkungan siswa. Ketiga aspek tersebut harus dijadikan pertimbangan. guru dalam pelaksanaan pembelajaran menulis puisi. Pertimbangan tersebut bertujuan agar kegiatan pembelajaran menjadi sesuai dengan kebutuhan siswa sehingga. akan membuatnya merasa senang dalam belajar. Dengan demikian, rasa senang itu akan membuat siswa memperoleh hasil yang optimal dalam belajar.
Menulis puisi memberikan banyak manfaat bagi siswa. Melalui puisi, sis­wa dapat mengekspresikan diri dan melatih kepekaan dan kekayaan bahasanya. Karena kebermanfaatan tersebut membuat kegiatan menulis puisi perlu diajarkan kepada siswa. Pere (Norton, 1987:329) mengidentifikasikan enam alasan penting­nya pembelajaran menulis puisi. Keenam alasan tersebut adalah (1) menulis puisi memberikan kegembiraan yang menyenangkan dan murni, (2) menulis puisi dapat memberikan pengetahuan tentang konsep dunia sekitar siswa, (3) menulis puisi mendorong siswa untuk menghargai bahasa dan mengembangkan kosakata yang tepat dan bervariasi, (4) menulis puisi dapat membantu siswa mengidentifikasi orang‑orang dan situasi tertentu, (5) menulis puisi dapat membantu siswa mengekspresikan suasana hati dan membantu siswa memahami perasaan mereka sendiri, dan (6) menulis puisi dapat membuka dan menumbuhkan kepekaan serta wawasan siswa terhadap lingkungan.

MENULIS KARYA SASTRA
Bernard (1973:42) menyatakan bahwa pada hakikatnya menulis karya sastra merupakan suatu proses mengekspresikan diri berdasarkan hasil pengamat­an dan pengalaman hidup setiap penulis. Jadi pada dasarnya, kegiatan menulis puisi itu bersifat eksperimental. Oleh karena itu, yang amat dipentingkan dalam menulis puisi (sastra pada umumnya) adalah “pengalaman” menulis karya sastra itu sendiri.
Penulisan karya sastra senantiasa melalui kegiatan proses belajar mengajar dengan beberapa tahap, yakni; (1) tahap teoretik, (2) tahap observasi kehidupan, (3) tahap mencari nilai puitik dan dramatik dalam kehidupan, (4) tahap latihan ima­jinasi, (5) tahap pengolaan bahan, dan (6) tahap pertanggungjawaban.
Tahap teoretik, adalah tahap belajar tentang teori-teori sastra (apa itu sastra, bagaimana prinsip-prinsip sastra, estetika sastra, elemen-elemen sastra se­perti; struk­tur, karakteristik, tema, dan lain-lain), proses kreatif, dan teori-teori penulisan sastra itu sendiri.
Tahap observasi kehidupan, adalah tahap melihat secara langsung dan men­catat kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari seperti “apa adanya” tan­pa pe­nilaian atau penghakiman serta tanpa emosi. Yang dipentingkan adalah dapat mere­kam keadaan lingkungan hidup sekitarnya dengan cermat sebagaimana ada­nya.
Tahap mencari ide yang puitik dan dramatik, Pada tahap ini sangat dipen­ting­kan bagaimana melihat kehidupan sebagai rangkaian peristiwa atau adegan leng­kap dengan setting, para tokoh, atmosfir, konflik, klimaks, resolusi, dan seba­gainya. Pada tahap inilah kepekaan dan kejelian siswa dilatih untuk dapat me­nang­kap “potensi kesastraan ” yang bernilai puitik dan dramatik dalam kehidupan sehari-hari, agar dapat diangkat dalam kehidupan fiksi.
Tahap latihan imajinasi, tahap ini merupakan kekuatan inti/penting dalam proses penulisan karya sastra, karena tahap ini melatih kemampuan siswa meng­olah bahan dari kehidupan nyata dan menuangkannya ke dalam karya fiksi. Dalam tahap ini, para siswa dilatih untuk dapat berpikir secara asosiatif, integralistik, dan kreatif dalam mengembangkan daya imajinasinya.
Tahap pengolahan bahan, adalah tahap proses penuangan ide yang berhasil direkam dari kehidupan nyata ke dalam bentuk karya sastra. Wujud dan kualitas dari karya sastra yang dihasilkan tidak saja ditentukan oleh daya imajinasi sese­orang, melainkan juga oleh daya nalar dalam meruntut ide, gagasan, ajaran hidup dengan baik.
Tahap pertanggungjawaban, sebagai suatu hasil dari proses pembelajaran, maka karya sastra yang dihasilkan oleh para siswa seharusnya dapat dipertang­gung­ja­wab­kan di hadapan teman sendiri. Oleh karena itu, pada tahap ini, karya sastra yang dihasilkan akan mendapat tanggapan atau penilaian serta masukan di hadapan teman sendiri.
Hakikat Puisi
Dalam buku Riffaterre yang berjudul Semiotics of Poetry (1978: 15), ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah; (1) puisi itu adalah ekspresi tidak langsung, menya­takan suatu hal dengan arti yang lain, (2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retro-aktif), (3) matriks, model, dan varian-varian, dan (4) hipogram.
Puisi Sebagai Ekspresi Tidak Langsung
Riffaterre (1978:1) mengemukakan bahwa puisi dari waktu ke waktu se­nantiasa berubah. Perubahan itu disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan evolusi selera. Namun ada satu hal yang tetap dan tidak mengalami perubahan, yak­ni puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung. Ketaklangsungan ekspresi itu terjadi, karena adanya penggantian, penyimpangan, dan penciptaan arti oleh penulisnya sendiri.
Penggantian Arti
Terjadinya penggantian arti disebabkan oleh penggunaan bahasa khiasan pada umumnya, yaitu perbandingan (simile), personifikasi, metapora, meto­nimi, dan sinekdok. Misalnya, dalam sajak Subagio Sastrawardojo berikut ter­dapat beberapa penggunaan metafora.



DEWA TELAH MATI

Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang mengitari bangkai
Pertama yang terbunuh dekat kuil
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
Pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri
Bumi ini perempuan jalang
Yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
Ke rawa-rawa mesum ini
Dan membunuhnya pagi hari

Dewa mengganti Tuhan, rawa-rawa mengganti tempat yang tidak baik, gagak adalah metapora untuk orang jahat, ular adalah mitos penjelmaan setan yang senang mengganggu anak cucu Adam dan Hawa. Jadi, dewa telah mati ber­arti orang tidak percaya lagi pada Tuhan, dunia ini hanya dipenuhi oleh orang jahat yang penuh napsu serakah.
Penyimpangan Arti
Terjadinya penyimpangan arti disebabkan oleh munculnya ambiguitas, kon­tradiksi, dan nonsense. Ambiguitas dapat terjadi, baik pada kata-kata, frasa, ka­limat maupun pada wacana, karena munculnya penafsiran yang berbeda-beda me­nurut konteksnya. Misalnya pada sajak di atas, kata rawa atau tepi-tepi dapat ditafsirkan sebagai tempat yang penuh dengan kemaksiatan. Sedangkan kontra­diksi muncul karena adanya penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Ironi di­gunakan untuk me­nyatakan sesuatu dengan maksud mengejek atau mengolok. Mi­­salnya, “Dewa telah mati” adalah ironi terhadap hati manusia yang sudah tidak percaya lagi pada Tuhan. Demikian pula “Pertapa yang terbunuh dekat kuil” ada­lah ironi dari manusia yang baik pun dapat terjerumus ke dalam kehidupan ke­maksiatan dan mati dekat kuil (tempat suci). Adapun nonsense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus), namun mempunyai makna “gaib” se­suai dengan konteks. Nonsense banyak ditemukan dalam puisi-puisi bernuansa mantra seperti dalam puisi Sutardji “Amuk” berikut ini.

AMUK
hei kau dengan mantraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izuakalizu
Mapakazaba itasatali
Tutulita
Papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
Tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
….
Kuzangga zegezegeze aahh…!
Nama kalian bebas
Carilah Tuhan semaumu

Demikian pula dalam puisinya yang lain, “Tragedi Winka Sihka”. Winka dan sihka adalah nonsense, namun sesuai konvensi dalam sastra kata-kata itu dapat bermakna kebalikan dari “Kawin dan Kasih”. Kawin berarti persatuan (perte­muan) sedangkan winka berarti perpisahan atau perceraian. Kasih berarti berarti cinta dan saling menyayangi, sedangkan sihka berarti dendam atau kebencian.

Penciptaan Arti
Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian ruang teks, di antaranya; en­jambemen, tipografi, dan homolugue. Dalam teks biasa (bukan teks sastra), ru­ang teks itu tidak ada artinya, namun dalam karya sastra khususnya puisi, ruang teks dapat menciptakan/menimbulkan makna.
Enjambemen adalah peloncatan baris dalam sajak. Peloncatan baris itu me­nyebabkan terjadinya peralihan perhatian pada kata akhir atau kata yang “dilon­catkan” ke baris berikutnya. Peloncatan kata tersebut menimbulkan intensitas arti atau makna liris. Misalnya dalam penggalan puisi Chairil Anwar berikut ini.
Doa
….
Tuhanku, aku kehilangan bentuk
Remuk
……
Tipografi adalah tata huruf. Tata huruf dalam teks biasa tidak mengandung arti, namun dalam sajak, akan menimbulkan arti. Sebagaimana dapat kita lihat pada puisi Sutardji “Tragedi Winka Sihka” di atas. Huruf-huruf pada kata kawin dan kasih ditata, dipenggal-penggal, dan dibalik sehingga membentuk lukisan jalan yang zigzak dan berliku-liku, sebagaimana liku-liku kehidupan manusia yang penuh tantangan dan cobaan.
Homolugue adalah persejajaran bentuk atau baris. Bentuk yang sejajar itu akan menimbulkan makna yang sama. Misalnya tampak dalam pantun berikut.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian

Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk memberikan makna lebih lanjut terhadap karya sastra (puisi), maka puisi tersebut sebaiknya dibacakan berdasarkan tata bahasa sebagai sistem tanda (tingkat pertama dan kedua).
Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa nor­matif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasil­kan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat per­tama (first order semiotics), namun belum memberikan makna sastra yang sig­nifikan (significance).
Karya sastra terutama puisi ditulis secara sugestif, dan hubungan antara ba­risnya bersifat implisit. Hal tersebut terjadi karena puisi itu pada dasarnya ha­nya mengekspresikan inti gagasan. Oleh karena itu, hal-hal yang dianggap tidak perlu, tidaklah dimunculkan secara eksplisit. Ada awalan atau akhiran yang dihi­langkan sehingga yang ada hanyalah kata intinya (dasarnya) saja, ada susunan kalimat yang dibalik, sehingga menimbulkan ketidakwajaran, namun ketidakwa­jaran tersebut te­tap dibaca secara wajar. Dengan kata lain dalam pembacaan heuristik, bahasa sastra haruslah “dinaturalisasikan” menjadi bahasa biasa (tata bahasa normatif). Dalam proses penaturalisasian ini, kata-kata yang tidak ber­awalan atau berakhiran diberi awalan dan akhiran, bahkan kalau perlu dapat di­tambahkan atau mengganti kata-kata yang bersinonim untuk memperjelas hu­bungan makna antarkata atau antar­baitnya. Susunan kata yang terbalik atau ter­penggal-penggal diubah kembali sesuai tata bahasa normatif. Misalnya dapat dilihat dalam puisi Chairil Anwar berikut ini.
SEBUAH KAMAR
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
Pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
Mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa disini,
Aku salah satu!”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: kamar begini;
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

Sajak di atas dapat dinaturalisasikan sebagai berikut.
Melalui sebuah jen­dela, sinar matahari masuk menyinari kamar itu. Kamar yang telah ditempati melahirkan lima orang anak, salah satunya si”aku”. Dalam kamar itu, Ibuku tertidur setelah menangis tersedu-sedu. Meskipun keadaan ramai di sekelilingnya, namun kamar itu sepi seperti penjara. Ayah si “aku” pun hanya bisa terbaring jemu menatap orang yang tersalib di batu. Sekeliling dunia (kamar itu) bu­nuh diri. Si aku bunuh diri dengan meminta adik pada ibu bapaknya, karena kamar itu terlalu sempit untuk dihuni tujuh orang apalagi jika ditambah dengan seorang anak.
Makna yang muncul pada pembacaan heuristik di atas barulah berdasarkan konvensi tata bahasa normatif, belum memberikan makna sastra yang sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra tersebut haruslah dibaca ulang (retroaktif) dengan memberikan tafsiran berdasarkan konvensi sastra.
Pembacaan Hermeneutik (Retroaktif)
Untuk memberikan makna sastra pada puisi tersebut haruslah didasarkan pada konvensi sastra bahwa puisi itu adalah ekspresi tidak langsung yang penuh dengan kiasan-kiasan.
Sebuah kamar merupakan kiasan dari kehidupan keluarga. Di sini tergam­bar kehidupan keluarga (si aku) yang penuh penderitaan-kamarnya sempit 3 x 4 m dihuni oleh tujuh orang-hal ini menggambarkan kemiskinan keluarga itu. Bahkan digambarkan kamar itu bagaikan penjara yang penuh dengan kesepian di tengah-tengah keramaian. Si Ibu hanya dapat menangis saja, sementara si ayah hanya da­pat berdoa tanpa dapat berbuat apa-apa untuk dapat mengubah keadaan hidup mereka. Ironisnya keadaan semacam itu akan diperparah dengan akan bertam­bahnya jumlah keluarga –barangkali si ibu sedang hamil– itu berarti sama saja dengan bunuh diri.
Konvensi sastra bersifat universal. Meskipun dalam puisi itu yang diung­kapkan adalah tentang kehidupan keluarga si aku, namun “kamar” itu sebenarnya merupakan simbol kehidupan suatu bangsa yang melarat dengan jumlah penduduk besar dan semakin bertambah terus.
Matriks, Model, dan Varian-varian
Secara teoretis puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi mo­del dan ditransformasikan menjadi varian-varian. Dalam menganalisis karya sastra (pu­isi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian ka­limat atau kalimat sederhana.
Matriks dalam puisi “Dewa Telah Mati” adalah orang sudah tidak percaya pa­da Tuhan dengan melakukan berbagai kejahatan dan kemaksiatan. Matriks ini ditransformasikan menjadi model “dewa telah mati”, “burung gagak”, dan “ular” be­rupa kiasan atau metafora. Model-model itu ditransformasikan juga menjadi varian-varian berupa “masalah” yang diuraikan menjadi bait 1, 2, dan 3.
Varian pada bait pertama adalah bahwa orang yang sudah tidak percaya pada Tuhan akan senantiasa melakukan kemaksiatan dan kejahatan, termasuk ke­pada orang yang baik (pertapa) bahkan di tempat-tempat yang suci pun (kuil) mereka akan berbuat kejahatan. Sedangkan varian pada bait kedua adalah meng­gambarkan dunia yang penuh dengan manusia-manusia jahat (ular), pelacur akan menjual harga dirinya demi harta. Kegagahan dan kecantikan yang dimiliki adalah simbol ke­banggaan dalam melacurkan diri. Demikian pula varian pada bait ketiga menggam­barkan dunia semata-mata sebagai tempat pelampiasan hawa napsu. Seorang pertapa yang sok “suci” pun melakukan kejahatan pada malam hari, namun pada pagi harinya, dia mati akibat kemaksiatan yang dilakukannya.
Hipogram: Hubungan Intertekstual
Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya (Bernard, 1978: 66).
Pada dasarnya, sebuah karya sastra merupakan respon terhadap karya sastra yang lain. Respon itu dapat berupa perlawanan atau penerusan tradisi dari karya sastra sebelumnya. Hipogram merupakan latar penciptaan karya sastra yang dapat berupa ke­adaan masyarakat, peristiwa dalam sejarah, atau alam dan kehidupan yang dialami sastrawan.
MENULIS PUISI DENGAN TEKNIK AKROSTIK
Melihat kenyataan pembelajaran menulis puisi yang belum memenuhi harapan tersebut, perlu ditempuh upaya‑upaya untuk mengefektifkan kegiatan pembelajaran menulis puisi di sekolah khususnya di SMA. Dalam hal ini, diperlukan suatu teknik yang dapat membantu siswa mengatasi permasalahan dalam menulis puisi. Teknik pembelajaran tersebut adalah teknik yang memiliki karakteristik (1) mengarahkan siswa dalam menemukan ide dari sesuatu yang dikenal dan berada di sekitamya, (2) membantu siswa menemukan kata‑kata pertama dalam menulis puisinya, (3) membantu siswa memperkaya perbendaha­raan kosakatanya, dan (4) membimbing siswa melakukan tahap‑tahap menulis puisi. Teknik pembelajaran dengan karakteristik seperti yang dikemukakan di atas adalah teknik menulis puisi akrostik.
Teknik menulis puisi akrostik (TMPA) merupakan teknik yang memung­kinkan siswa dapat mengalami suatu proses pembelajaran yang terarah dan menyenangkan. Dalam pelaksanaan pembelajaran, siswa akan dipandu mulai dari tahap penggalian ide, penentuan ide, penulisan, sampai pada tahap penyajian. TMPA ini juga membantu siswa dalam menulis puisi, karena puisi yang dibuat menggunakan pola huruf‑huruf awal nama diri atau suatu hal. Dengan adanya pola ini, proses penulisan puisi menjadi lebih terarah.
Kegiatan menulis puisi dengan teknik akrostik, dapat dilaksanakan dengan mengikuti tahap‑tahap sebagai berikut: (1) tahap preparasi dilaksanakan kegiatan pengumpulan data atau infonasi yang akan dijadikan bahan penulisan, (2) tahap inkubasi dilakukan dalam usaha untuk mengendapkan atau mematangkan ide‑ide yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya, (3) tahap aluminasi merupakan tahap pelahiran ide, gagasan, atau pengalaman ke dalam bentuk puisi, dan (4) tahap verifikasi yaitu kegiatan menilai puisi hasil karya sendiri. Puisi adalah pengungkapan pikiran, perasaan, dan pengalaman dengan susunan kata yang kaya imajinasi, dengan penyingkapan pendirian atau keyakinan penulisnya, pemaham­an akan dipertajam sehingga dapat melihat pengalaman diri sendiri atau dengan empati yang tulus dapat berbagi pengalaman atau impian dengan orang lain. Untuk dapat mengungkapkan sesuatu dalam bentuk puisi, diperlukan suatu latihan yang berulang dalam menulis pulsi. Kegiatan berpuisi bukanlah kegiatan yang hanya bersifat alamiah, melainkan juga kegiatan budaya atau pembiasaan. Lebih tepatnya kegiatan mencipta puisi bukan hanya kegiatan yang bersifat alamiah dan naluriah melainkan merupakan hasil proses belajar. Selain itu kemampuan men­cipta puisi juga sangat dipengarahi oleh keterampilan untuk mewujudkan penga­laman dalam bentuk tulisan.
Untuk menciptakan kegiatan menulis kreatif puisi yang memungkinkan siswa dapat memotivasi dan menggerakkan potensi kreativitasnya, diperlukan suatu teknik pembelajaran yang mendukung. Teknik tersebut dapat membantu siswa mengarahkan dan membimbing pada proses menulis pulsi. Teknik yang dapat digunakan dalam pembelaj'aran menulis puisi bagi pemula yang mengalami kendala, seperti disebutkan di atas adalah TMPA.
TMPA merupakan suatu teknik yang dapat mendorong dan memotivasi siswa sebagai penulis pernula untuk dapat menulis sebuah puisi. Teknik ini juga dapat menciptakan suatu kondisi pembelajaran yang dapat merangsang siswa sehingga ia dapat menuliskan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam bentuk puisi dengan pola berisi susunan kata‑kata yang seluruh huruf awal atau huruf akhir tiap barisnya merupakan sebuah kata atau nama diri. Penerapan TMPA dalam pelaksanaan pembelajaran menulis puisi dilakukan dengan beberapa tahap. Pada setiap tahap, guru akan membimbing dan mengarahkan siswa dalam menulis puisi. Tahap‑tahap tersebut adalah (1) penggalian ide, (2) penentuan ide, (3) penulisan, dan (4) penyajian.
Pada tahap penggalian ide, siswa dimotivasi dengan suatu permainan. Permainan yang dipilih adalah mengisi teka‑teki silang. Dengan permainan ini siswa dikenalkan dengan kemungkinan‑kemungkinan penggunaan kata sesuai huruf yang terdapat di dalam kata tersebut. Selain itu, kata yang dipilih pun dapat mewakill pengenalan terhadap lambang, simbol, dan kata kias. Setelah kegiatan ini, siswa diajak untuk berpikir dan mendeskripsikan diri sendiri. Siswa membuat daftar dengan kata‑kata atau frase yang jelas. Daftar tersebut berisi hal‑hal yang disukai dan tidak disukainya, impian dan rencana‑rencananya, karakter atau sifat‑sifatnya, ciri‑ciri fisiknya, benda‑benda atau hal‑hal yang berkesan, dan kehidupan keluarganya. Pada bagian ini siswa dimotivasi untuk mengungkapkan hal‑hal yang istemewa dari dini dan lingkungannya.
Pada tahap penentuan ide, siswa diajak untuk menemukan bagian‑bagian yang menank. Pada tahap ini siswa memperhatikan dan memilih bagian yang menarik dari daftar yang dibuat tentang dirinya. Siswa menentukan satu ide yang akan diwujudkannya dalam puisi. Dengan ditemukannya ide yang bersumber dari dirinya sendiri, maka siswa akan termotivasi untuk menulis puisi. Pada tahap ini juga siswa dilaksanakan kegiatan mengumpulkan kosakata yang mungkin akan digunakan dalam puisi akrostiknya. Kegiatan ini dilaksanakan setelah siswa dikenalkan dengan model-model puisi akrostik yang mungkin akan dijadikan bentuk puisi yang dipilihnya.
Pada tahap penulisan, siswa mulai menuliskan apa yang dirasakan dan dipikirannya ke dalam puisi dengan bantuan pola akrostik. Pola tersebut dapat berbentuk daftar nama diri, benda, atau keadaan. Dengan pola tersebut, siswa lebih mudah menyelesaikan puisinya. Pemilihan bentuk puisi akrostik dapat dijadikan bahan untuk diskusi sehingga siswa mengetahui alasan dia memilih bentuk puisi akrostik. Kegiatan selanjutnya adalah perevisian. Dengan bimbingan guru, siswa dapat mempertimbangkan, mengganti dan menambah kata‑kata dalam puisinya.
Pada tahap penyajian, siswa membacakan puisi yang telah mengalami
perbaikan di depan kelas. Kemudian, siswa memberi ilustrasi yang sesuai dengan isi puisinya. Puisi yang telah diberi ilustrasi, ditempelkan di mading kelas. Guru dapat memberikan komentar di bawah puisi siswa. Dengan menerapkan langkah‑langkah perencanaan, (2) melaksanakan tindakan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Dengan demikian, penelitian tindakan merupakan suatu proses yang memiliki siklus yang bersifat spiral, mulai dari perencanaan, pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan, penemuan fakta‑fakta untuk melakukan evaluasi atau memodifikasi perencanaan penelitian.
DAFTAR RUJUKAN
Achadiyati, I.P.S.R. 2000. Strategi Pembelajaran Menulis Puisi Formulasi di Kelas V SD Abepura Joyapura. Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS UM
Ahmadi, Muksin. 1990. Strategi Belaiar Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: YA3.
Ardiana, Leo lndra, dkk. 2002. Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia: Menulis Kreatif Jakarta: Direktorat SUP, Dijen Dikdasmen, Depdiknas.
Chang, Jason. 1999. Acrostic Poetry. (Http: H www.Emory.edu/English/classes/handbook/acrostic. html diakses I I September 2003).
Depdikbud. 1993. Garis‑Garis Besar Program Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Jakarta: Depdiknas.
Ellis, Arthur, dkk. 1989. Elementry language Arts Instruction. New Jersey: Englewood Cliffs.
Endraswara, Suwardl. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra. Yogyakarta: Kota Kembang.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hasanuddin, W.S. 2002. Membaca dan Menilai, sajak, Bandung: Angkasa.
Jabrohim, Chairil Anwar, dan Suminto A. Sayuti. 2001. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Janeczko, Paul.B. 2000. Teaching 10 Fabulous Forms of Poetry. New York: A Paramount Company.
Kazemek, Francis E. & Pat Rigg. 1996. Finriching Our Lives: Poetry Lessonsfor Adult Lileracy Zachers and Tutors. New York: Reading Association.
Mulyati, Yeti. 2002. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesiadi kelas Tinggi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Norton. 1987. 7hrough The Eyes of A Child An Introduction to Children's Literature. USA: Merril Publishing.
Percy, Benard. 198 1. The Power of Reading Writing. USA: Printice‑Hall International.
Pradopo, Rachinad Djoko.2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rahanto, B. 1988. Melode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Sarumpact, Rins K. Toha. 2002. Apresiasi Puisi Remaja. Jakarta: Gramedia.
Tashin. 2001. Guru Kita dan Pembelajaran Puisi. Majalah Horison, Edisi Maret 2001:18.
Tompkins, Gail E. dan Kenneth Hoskisson. 199 1. Language Art: Content Area Teaching Srafegies. New York: Mac Millan Publishing Company,
Troyka, Linn Quitman. 1987. Simon & Schusler Handbookfor Writers. USA: PrInfice‑Hall International.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.

Kriteria dan Karakteristik Sekolah Efektif*)

Dalam dua puluh tahun terakhir, beberapa negara di dunia aktif melakukan kajian terhadap topik sekolah efektif. Negara maju seperti Amerika Serikat bahkan telah melalui beberapa fase penting bagi perbaikan sistem persekolahannya yang ditandai dengan munculnya kajian sekolah yang baik (Postman & Weingartner, 1973; Frymier, Cornbleth, Donmoyer, Gansneder, Jeter, Klein, Schwab & Alexander, 1984) dan kajian mengenai sekolah unggul (Wayson, Mitchell, Pinnell & Landis, 1988).
Di Indonesia, sekolah efektif, baik sebagai bidang kajian maupun sebagai suatu gerakan, tampaknya belum begitu populer. Hal ini ditandai dengan masih terbatasnya penelitian yang dilakukan mengenai topik ini. Penelitian yang antara lain dirintis oleh Moedjiarto (1990) rupanya belum cukup untuk membangkitkan semangat peneliti untuk menggeluti bidang kajian ini. Sasaran strategi dasar kebijakan pendidikan nasional dalam pelita VI kepada peningkatan kualitas pendidikan (Depdikbud, 1993) tampaknya juga belum mampu merangsang upaya-upaya yang konsisten ke arah praktik sekolah efektif. Penyebab utama kondisi ini adalah adanya anggapan bahwa aspek-aspek proses persekolahan, meskipun dipandang penting, kurang memberi kontribusi terhadap hasil belajar siswa.
Di luar Indonesia, berkembangnya kajian sekolah efektif tidak terlepas dari terjadinya perubahan orientasi dalam melihat “hasil belajar” siswa. Sampai pada tahun 1970, sebagian peneliti masih berkeyakinan bahwa hasil belajar siswa sangat dipengaruhi oleh faktor bawaan (intake) siswa seperti karakteristik sosio-ekonomik, ras, latar belakang keluarga dan faktor materil seperti ukuran kelas/sekolah, besarnya anggaran, perpustakaan, dan perlengkapan. Sementara belakangan, terutama pada era 1980-an, muncul temuan-temuan baru yang menolak argumen tersebut. Meta-analisis yang dilakukan oleh Fuller (1987) terhadap kondisi pendidikan di dunia ketiga sedikitnya memberikan gambaran mengenai hal ini. Fuller menyimpulkan bahwa dengan sumber daya yang terbatas sekalipun, organisasi sekolah mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap prestasi akademik sisiwa, terlepas dari faktor latar belakang keluarga.
Argumen terakhir itulah yang melandasi kajian sekolah efektif. Hal ini didukung oleh pernyataan Witte dan Walsh (1990) bahwa pada dasarnya proses, lingkungan persekolahan, dan struktur sekolah menyebabkan perbedaan dalam prestasi akademik siswa. Pendapat ini didasarkan pada pemikiran bahwa proses pembelajaran terjadi dalam konteks, dan dalam skala besar dipengaruhi oleh, organisasi sekolah. Dengan demikian, prestasi akademik tidak dapat dijelaskan dengan hanya menganalisis pembelajaran dan proses kelas secara tersendiri, terpisah dari organisasi sekolah. Karena terdapat beberapa komponen sekolah yang diyakini berpengaruh terhadap proses pembelajaran di kelas. Komponen-komponen ini, menurut Hoy dan Miskel (1987) perlu berfungsi secara bersama untuk menjadikan sekolah lebih efektif.
Artikel ini merupakan suatu tinjauan terhadap berbagai kajian mengenai sekolah efektif. Secara khusus, artikel ini bertujuan untuk: (1) mengungkapkan kriteria dalam menentukan sekolah efektif, (2) mengungkapkan berbagai karakteristik proses persekolahan yang berkontribusi terhadap keefektifan sekolah, dan (3) mengungkapkan beberapa implikasi yang dapat ditarik bagi penelitian sekolah efektif di Indonesia.

KRITERIA SEKOLAH EFEKTIF
Istilah “keefektifan” mengacu kepada sejauh mana kesesuaian antara hasil yang dicapai dengan tujuan yang ditetapkan. Dalam konteks sekolah, hasil belajar seringkali dicerminkan dengan tingkat perolehan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dicapai oleh siswa. Dengan demikian, sekolah efektif adalah sekolah yang menunjukkan prestasi tinggi yang dicapai oleh siswa dalam bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Para penulis mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai pengertian hasil belajar. Perbedaan pemahaman ini pada gilirannya membawa implikasi pada penentuan kriteria sekolah efektif. Paling tidak ada dua kriteria utama yang dipakai untuk menentukan sekolah efektif. Pertama, kriteria sekolah efektif yang didasarkan pada tingkat perolehan pengetahuan (Slater & Tedlie, 1992; Stoll & Fink, 1992). Untuk mengukur tingkat perolehan pengetahuan itu, digunakan tes baku dan hasil tes sumatif siswa. Beberapa peneliti bahkan membatasi kriteria hasil pengetahuan dengan hanya memfokuskan pada nilai belajar di bidang matematika dan membaca yang diukur dengan tes baku. Pembatasan pada perolehan pengetahuan ini, apalagi dengan hanya melihat skor matematika dan membaca, merupakan kelemahan yang paling serius dari semua penelitian karena terlalu mempersempit pengertian sekolah efektif (Frymier, dkk. 1984).
Kedua, kriteria sekolah efektif yang didasarkan pada hasil belajar yang bersifat non pengetahuan. Beberapa aspek “hasil” yang berkenaan dengan kriteria ini adalah sikap/perilaku (Louis & Miles, 1991; Wayson, dkk., 1988), angka putus sekolah (Witte & Walsh, 1990), tingkat kehadiran, tingkat efisiensi, dan sikap positif terhadap sekolah (Mortimore, 1993). Kriteria kedua ini juga belum memadai dalam mendeskripsikan hasil belajar.
Penjelasan yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Ewell dan Lisensky (1988). Kedua penulis ini membagi kriteria keefektifan ke dalam empat dimensi, yaitu: hasil kognitif, hasil keterampilan, hasil sikap/nilai, dan hubungan yang dibangun dengan berbagai pihak. Dimensi kognitif mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan bidang studi. Dimensi keterampilan meliputi: (1) keterampilan dasar (verbal, oral, kuantitatif, dan lain-lain), (2) keterampilan tingkat tinggi (pemecahan masalah, kreatif, hubungan manusia/organisasi, dan lain-lain), dan (3) keterampilan kejuruan/vokasional (keterampilan untuk melakukan pekerjaan khusus). Dimensi sikap/nilai meliputi: (1) tujuan dan aspirasi pribadi, (2) sikap umum, nilai dan kepuasan, (3) sikap terhadap diri (pengembangan identitas), dan (4) sikap terhadap orang lain. Dimensi keempat berkaitan dengan hubungan yang dibangun oleh para lulusan dengan almamater, dunia kerja/industri, organisasi profesi, dan masyarakat. Menurut Ewell dan Lisensky, dimensi-dimensi tersebut tidak secara kaku diterapkan untuk menentukan efektif tidaknya suatu lembaga, melainkan disesuaikan dengan misi lembaga yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pada tingkat sekolah umum, baik SD, SLTP maupun SMU, kriteria keempat kurang relevan digunakan sebagai dasar untuk menentukan sekolah efektif.

KARAKTERISTIK SEKOLAH EFEKTIF
Karakteristik sekolah efektif adalah aspek-aspek proses persekolahan yang berkontribusi terhadap hasil belajar siswa. Dari berbagai sumber, penulis mengidentifikasi dua kelompok kajian mengenai sekolah karakteristik sekolah efektif. Pertama, kajian yang memusatkan analisisnya terhadap karakteristik tertentu yang berkontribusi terhadap sekolah efektif, di antaranya adalah karakteristik budaya organisasi sekolah (Cheng, 1993), proses pembuatan keputusan (Taylor & Levine, 1991), perubahan organisasi dan manajemen (Louis & Miles, 1991), perilaku kepemimpinan kepala sekolah (Heck, Marcoulides & Lang, 1991), dan keefektifan pengajaran (Virgilio, Teddlie & Oesher, 1991). Kedua, kajian yang memusatkan pada berbagai karakteristik umum sekolah, seperti ditemukan dalam kajian Mortimore (1993), penelitian Moedjiarto (1990), dan penelitian Witte dan Walsh (1990). Dari ketiga sumber terakhir ini diidentifikasi berbagai karakteristik sekolah efektif yang meliputi: (1) iklim dan budaya sekolah, (2) harapan yang tinggi untuk berprestasi, (3) pemantauan terhadap kemajuan siswa, (4) kepemimpinan kepala sekolah, (5) keterlibatan orangtua dalam kegiatan sekolah, (6) kebebasan, tanggung jawab dan keterlibatan siswa dalam kehidupan sekolah, (7) ganjaran dan insentif, dan (9) pelaksanaan kurikulum. Karakteristik ini selanjutnya diuraikan secara singkat pada bagian berikut ini.



Iklim dan Budaya Sekolah
Iklim dan budaya organisasi sekolah termasuk karakteristik yang secara konsisten ditemukan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Penelitian Cheng (1993) sebagai contoh, menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya organisasi (cita-cita, keyakinan, dan misi) yang kokoh cenderung dipandang lebih efektif dalam hal produktivitas, adaptasi dan keluwesan.
Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan pemeliharaan iklim yang kondusif untuk belajar (Reynolds, 1990). Iklim dan budaya sekolah yang kondusif sangat penting agar siswa merasa tenang, aman dan bersikap positif terhadap sekolahnya, agar guru merasakan diri dihargai, dan agar orangtua dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan (Townsend, 1994). Hal ini dapat terjadi melalui penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang harmonis yang didasari oleh sikap saling menghargai atu sama lain.

Harapan yang Tinggi untuk Berprestasi
Karakteristik ini pada umumnya ditemukan dalam sekolah efektif. Penelitian Moedjiarto (1990) dan Witte dan Walsh (1990) mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara harapan yang tinggi untuk berprestasi dan prestasi akademik siswa. Karakteristik ini berkenaan dengan penciptaan etos positif yang dapat mendorong siswa berprestasi. Menurut Mortimore (1993), harapan yang tinggi yang ditransmisikan ke dalam kelas berperan dala meningkatkan ekspektasi diri siswa terutama berkenan dengan peningkatan prestasi akademik mereka.
Murphy (1985), Stedman (1985), McCormack-Larkin dan Kritek (1982) sebagaimana dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan bahwa harapan dan standar untuk berprestasi yang tinggi juga perlu bagi para staf sekolah yang ditandai dengan adanya: (1) keyakinan bahwa semua siswa dapat belajar, (2) tanggung jawab bagi pembelajaran siswa, (3) harapan yang tinggi akan pekerjaan yang berkualitas tinggi, (4) persyaratan promosi dan peringkat, dan (5) pemberian perhatian probadi kepada siswa perorangan.

Pemantauan terhadap Kemajuan Siswa
Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa karakteristik ini berhubungan secara signifikan dengan hasil belajar siswa. Penelitian Witte dan Walsh (1990) misalnya, menemukan bahwa karakteristik ini berkorelasi dengan prestasi belajar matematika dan membaca siswa.
Pemantauan terhadap kemajuan belajar siswa merupakan suatu prosedur vital, sebagai kegiatan pendahuluan untuk merencanakan siasat pengajaran, mengubah metode atau menambah/mengurangi beban kerja (Mortimore, 1993). Secara khusus, pemantauan terhadap kemajuan siswa yang dilakukan secara konsisten dan kontinyu berperan sebagai dasar untuk memberikan balikan kepada siswa (Reynolds, 1990). Dalam kaitannya dengan kriteria ini, perlu diperhatikan aktivitas pekerjaan rumah yang diberikan kepada siswa terutama yang berkaitan dengan: (1) seberapa banyak pekerjaan rumah yang selayaknya diberikan kepada siswa, dan (2) penilaian dan balikan yang diberikan (Witte & Walsh, 1990).

Kepemimpinan Kepala Sekolah
Karakteristik ini juga ditemukan yang paling konsisten hubungannya dengan prestasi belajar. Temuan penelitian Heck, dkk. (1991) menunjukkan bahwa prestasi akademik dapat diprediksi berdasarkan pengetahuan terhadap perilaku kepemimpinan pengajaran kepala sekolah. Menurut Townsend (1994), proses kepemimpinan mempunyai pengaruh terhadap semua aspek kinerja sekolah. Lebih spesifik, kepemimpinan pengajaran berperan dalam kegiatan pembinaan personil guru, perlindungan sekolah dari tekanan eksternal yang kurang mendukung, pemantauan prestasi sekolah, penyediaan waktu dan energi untuk perbaikan sekolah, pemberian dukungan kepada guru, dan pencarian sumberdaya ekstra untuk sekolahnya (Mortimore, 1993).
Proses kepemimpinan mencakup dua dimensi penting, yaitu beban kepemimpinan dan bentuk atau gaya kepemimpinan (Townsend, 1994). Beban kepemimpinan berkaitan dengan sejauhmana tanggung jawab kepemimpinan diambil alih atau didelegasikan oleh kepala sekolah terhadap semua aspek operasi sekolah. Bentuk kepemimpinan berkaitan dengan gaya kepemim-pinan yang digunakan oleh kepala sekolah, apakah otoritarian, hierakis, demokratis, berorientasi tugas atau berorientasi manusia. Adapun gaya kepemimpinan yang dikembangkan tergantung pada kondisi operasional sekolah. Beberapa penelitian yang dilakukan di Inggris menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan otokratik dan gaya yang terlalu demokratik kurang efektif dibandingkan dengan gaya kepemimpinan situasional (Mortimore, 1993).

Keterlibatan Orangtua dalam Kegiatan Sekolah
Lazar dan Darlington (1982) seperti dikutip oleh Mortimore (1993) memberikan bukti bahwa keterlibatan orangtua merupakan aspek penting bagi keberhasilan program pendidikan. Hal ini didukung oleh temuan penelitian Witte dan Walsh (1990) yang menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara keterlibatan orangtua dengan prestasi belajar matematika dan membaca pada jenjang SLTP dan SMU.
Schreens (1992) menilai bahwa keterlibatan orangtua merupakan stimulus eksternal yang memainkan peranan penting bagi peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah. Menurut Schreens, orangtua siswa dapat dianggap sebagai perwakilan para pemakai jasa pendidikan yang dapat mempengaruhi sekolah menjadi efektif. Peranan tradisional keterlibatan orangtua juga tidak boleh dilupakan, seperti kerja sama dengan sekolah dalam pemberian bimbingan belajar dan dalam menumbuhkan kedisiplinan kepada anak mereka.

Kebebasan, tanggung Jawab, dan Keterlibatan Siswa dalam Kehidupan Sekolah
Penelitian Moedjiarto (1990) menemukan bahwa karakteristik ini mempunyai korelasi dengan prestasi akademik siswa. Asumsi yang mendasari karakteristik ini adalah bahwa pembelajaran hanya mungkin terjadi bilamana siswa mempunyai pandangan yang positif terhadap sekolahnya dan peranan mereka di dalamnya (Moortimore, 1993). Dengan melibatkan siswa dalam kegiatan sekolah atau dengan memberikan tanggung jawab kepada mereka berarti guru berusaha menumbuhkan pada diri siswa rasa memiliki terhadap sekolah dan terhadap pembelajarannya sendiri. Bentuk keterlibatan siswa bisa bermacam-macam, tetapi secara umum dapat dilakukan melalui penyusunan program kegiatan kokurikuler sekolah dan dalam penyusunan kebijakan sekolah.

Ganjaran dan Insentif
Penelitian Moedjiarto menemukan signifikansi karakteristik ini. Dijelaskan oleh Reynolds (1990), sekolah yang sukses menyadari bahwa pemberian penghargaan jauh lebih penting ketimbang menghukum atau menyalahkan siswa. Hal ini dinilai oleh Reynolds sebagai suatu strategi motivasi yang penting untuk meningkatkan citra diri (self-mage) siswa dan berkembangnya atmosfir yang bersahabat dan suportif. Ganjaran dan insentif mendorong munculnya perilaku positif dan, dalam beberapa hal, mengubah perilaku siswa (dan juga guru).
Ganjaran dan insentif diberikan dalam beberapa cara. Mortomore, dkk. (1988) sebagaimana dikutip Mortimore (1993) mengidentifikasi beberapa cara yang dilakukan oleh sekolah efektif dalam pemberian insentif , seperti memberi ganjaran kepada individu yang menunjukkan pekerjaan atau perilaku yang baik dan ganjaran yang diberikan berdasarkan prestasi dalam kegiatan olahraga dan sosial.

Tata Tertib dan Disiplin
Karakteristik ini sangat penting artinya dalam mewujudkan sekolah efektif melalui penciptaan kedisiplinan belajar. Penelitian Moedjiarto (1990) mengungkapkan bahwa karakteristik tata tertib dan kebijakan disiplin sekolah mempunyai hubungan yang signifikan dengan prestasi akademik siswa. Pada dasarnya tata tertib dan disiplin merupakan harapan yang dinyatakan secara eksplisit yang mengandung peraturan tertulis mengenai perilaku siswa yang dapat diterima, prosedur disiplin, dan sanksi-sanksinya (ESCN, 1987 seperti dikutip oleh Moedjiarto, 1990). Witte dan Walsh (1990) mengemukakan dua dimensi penting kedisiplinan yang dilaksanakan dalam sekolah efektif, yaitu: (1) persetujuan kepala sekolah dan guru terhadap kebijakan disiplin sekolah, dan (2) dukungan yang diberikan kepada guru bilamana mereka melaksanakan peraturan disiplin sekolah.

Pelaksanaan Kurikulum
Sebagai inti dari program pendidikan, pelaksanaan kurikulum mempunyai kaitan erat dengan prestasi belajar siswa. Penelitian Moedjiarto (1990) membukti­kan adanya hubungan antara pelaksanaan kurikulum dengan prestasi akademik siswa. Menurut Townsend (1994) pelaksanaan kurikulum mencakup isu: (1) kuali­tas program yang diberikan, (2) keterlibatan guru dalam pengajaran, (3) harapan masyarakat sekolah, (4) teknik motivasi untuk memenuhi harapan ini, (5) alokasi waktu, (6) tipe pengajaran (klasikal, kelompok, ekskursi), (7) pemantauan kema­juan belajar, (8) tingkat keterlibatan siswa dalam pembelajaran, dan (9) fasilitas belajar yang disediakan oleh sekolah. Lebih spesifik lagi, Murphy (1985), Stedman (1985), McCormack-Larkin dan Kritek (1982) sebagaimana dikutip oleh Wayson, dkk. (1988) mengungkapkan beberapa aspek yang berkaitan dengan karakteristik pelaksanaan kurikulum pada sekolah efektif, yaitu (1) adanya kesempatan belajar yang memadai yang diberikan kepada siswa, (2) kurikulum yang terkoordinasi, (3) pengajaran yang berlangsung secara aktif, dan (4) jelasnya fokus dan misi pendi­dikan di sekolah itu.

BEBERAPA IMPLIKASI BAGI PENELITIAN SEKOLAH EFEKTIF DI INDONESIA
Meskipun kajian sekolah efektif telah dilakukan cukup lama, tidaklah berarti objek ini rnerupakan lahan yang sudah tertutup untuk diteliti. Sebaliknya, hasil-ha­sil kajian yang telah dilakukan itu menciptakan tantangan sekaligus peluang bagi para peneliti untuk menggeluti topik sekolah efektif. Tantangan ini untuk sebagian bersumber, dari sejumlah kritik yang dialamatkan kepada penelitian-penelitian ter­dahulu. Sekurang-kurangnya ada empat kritik yang dilontarkan para ahli terhadap penelitian sekolah efektif. Pertama, kebanyakan penelitian sekolah efektif meng­gunakan analisis rerata karakteristik yang membedakan sekolah efektif dan sekolah tidak efektif. Meskipun teknik ini dapat dibenarkan, tetapi analisis mean to mean tidak cukup memadai untuk menjelaskan variansi karakteristik sekolah efektif (Reynold, 1990).
Kedua, penelitian sekolah efektif yang dilakukan kebanyakan melibatkan jumlnh sampel sekolah yang terlalu kecil (Reynold, 1990; Witte & Walsh, 1990). Sebagai contoh, penelitian Moedjiarto (1990) hanya melibatkan 6 SMAN di Sura­baya, masing-masing tiga SMA di antaranya digolongkan sebagai sekolah efektif dan tiga lainnya digolongkan SMA tidak efektff. Jumlah ini jelas terlalu kecil karena yang menjadi unit analisis adalah sekolah. Jumlah yang kecil ini juga memungkinkan terkontaminasi oleh pengaruh kesalahan sampling (sampling er­ror).
Ketiga, penelitian yang telah dilakukan terlalu mengandalkan pengukuran kuantifikasi yang kaku (Witte dan Walsh 1990). Virgilio, Tedlie, dan Oesher (1991) mengemukakan, meskipun teknik ini bermanfaat dalam menarik kesimpulan, di masa depan studi mengenai sekolah efektif hendaknya perlu lebih detail, dengan mengumpulkan informasi kualitatif melalui pendekatan etnografi. Dengan kata lain, kebutuhan akan penelitian naturalistik di masa depan dipandang penting untuk menjawab pertanyaan fundamental yang selama ini terabaikan: Mengapa karakter­istik keefektifan sekolah berkorelasi dengan hasil pendidikan? (Schreens, 1992).
Keempat, penelitian sekolah efektif sebelumnya terIalu difokuskan pada pres­tasi akademik yang diukur dengan tes baku (Stoll dan Fink, 1992). Malahan, penelitian Moedjiarto (1990) menggunakan kriteria nilai rerata EBTANAS untuk mengelompokkan sekolah efektif dengan sekolah tidak efektif. Pengukuran de­ngan menggunakan nilai EBTANAS ini, tidak hanya terkesan terlalu menyederha­nakan makna hasil belajar, tetapi juga dapat menyesatkan karena masih adanya kemungkinan nilai EBTANAS dimanipulasi. Dalam hubungan itu Reynolds (1990) mengusulkan agar penelitian sekolah efektif di masa depan juga perlu didasarkan pada hasil belajar yang bersifat non-akademis.
Dari kritik-kritik itu, ada beberapa implikasi penting yang dapat direkomen­dasikan bagi penelitian sekolah efektif di Indonesia:
1. Penelitian sekolah efektif di masa depan perlu lebih difokuskan pada teknik analisis yang tidak sekadar membandingkan rerata karakteristik sekolah efektif, melainkan pada penjelasan variabel hasil belajar berdasarkan sumbangan ma­sing-masing karakteristik sekolah efektif yang dapat dilakukan antara lain de­ngan menggunakan teknik analisis regresi ganda dan multivariat analysis of varians.
2. Karena unit analisisnya adalah sekolah, maka jumlah sampel sekolah dalam penelitian sekolah efektif hendaknya lebih besar dengan melibatkan berbagai kelompok sekolah, seperti sekolah perkotaan dan sekolah pedesaan, sekolah efektif dan sekolah tidak efektif, sekolah dasar hingga sekolah menengah, dan sebagainya.
3. Untuk mengatasi kekurangan pendekatan kuantitatif, maka seyogianya diper­timbangkan penggunaan pendekatan peneIitian kualitatif, baik secara tersendiri maupun secara bersama dengan pendekatan kuantitatif. Untuk Iingkup Indone­sia, pendekatan kualitatif terasa sangat dibutuhkan oleh karena banyak aspek-as­pek unik dengan segala variasinya yang diduga kuat mempengaruhi hasil belajar siswa, seperti budaya sekolah, visi kepemimpinan, kedisiplinan siswa, dan sebagainya. Dengan mengacu kepada pendapat Schreens (1992), temuan peneli­tian kualitatif itu diharapkan dapat memberikan penjelasan substantif terhadap model sekolah efektif.
4. Kriteria untuk menentukan sekolah efektif tidak hanya terbatas pada prestasi akademik, melainkan berbagai dimensi hasil belajar. Untuk itu penelitian seko­lah efektif di Indonesia seyogianya mengacu kepada sekurang-kurangnya tiga dari empat dimensi hasil belajar yang dikemukakan oleh Ewell dan Lisensky (1988), yaitu hasil kognitif, hasil keterampilan, dan hasil sikap/nilai.

KESIMPULAN
Penelitian sekolah efektif seyogianya didasarkan pada kriteria hasil kognitif, hasil keterampilan, dan hasil sikap/nilai. Di samping itu, penelitian sekolah efektif juga perlu menganalisis berbagai karakteristik sekolah yang berkontribusi bagi keefektifan sekolah. Akhirnya, kajian ini mengemukakan implikasi metodologis, seperti jumlah sample, teknik analisis, kriteria pengukuran sekolah efektif, dan penggunaan pendekatan kualitatif yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian sekolah efektif di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Cheng, Y. C. 1993. Profiles of organizational culture and effective schools. School Effectiveness and School Improvement, 4(2):85-110.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Empat Strategi Dasar Kebijakan Pendidik­an Nasional. Seri Kebijaksanaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ewell, P. T. dan Lisensky, R. P. 1988. Assessing Institutional Effectiveness: Redirecting the Self-Study Process. Washington, DC: Consortium for the Advancement of Private Higher Education.
Frymier, J., Combleth, C., Donmoyer, R., Gansneder, B. M., Jeter, J. T., Klein, M. F., Schwab, M., dan Alexander, W. M. 1984. One Hundred Good School: A Report of the Good School Project. Indiana: Kappa Delta Pi.
Fuller, B. 1987. What school factor raise achievement in the third world? Review of Educational Research, 57(3):255-292.
Heck, R. H., Marcoulides, G. A. dan Lang, P. 1991. Principal instructional leadership and school achievement: the Application of discriminant tehcniques. School Effectiveness and School Improvement, 2(2): 115-135.
Hoy, W. K. dan Miskel, C. G. 1987. Educational Administration: Theory Research and Practice. (3rd ed.), New York: Random House.
Louis, K. S. dan Miles, M. B. 1991. Managing reform: lesson from urban high schools. School Effectiveness and School Improvement, (2):75-96.
Mortimore, P. 1993. School effectiveness and the management of effective learning and teaching. School Effectiveness and School Improvement; 4(4):290-310.
Moedjiarto. 1990. Persepsi terhadap Karakteristik yang Membedakan Sekolah Menengah Atas dengan Prestasi Aki:zdemik Tinggi dan Sekolah Menengah Atas dengan Prestasi Akademik Rendah di Surabaya. Disertasi. Tidak diterbitkan: Malang: Fakultas Pasca Sarjana Intitut Keguruan dan llmu Pendidikan Malang. - '
Postman, N. dan Weingartner, C. 1973. The School Book: For People who Want to Know what All the Hollering is about. New York: De1acorte Press. ,
Reynolds, D. 1990. Research on school/organizational effectiveness: The end of the beginning? dalam Rene Saran dan Vernon Trafford (1990). Research in Educa­tional Management and Policy: Retrospect and Prospect. London: The Farmer Press.
Scheerens, J. 1992. Effective Schooling: Research, Theory and Practice. London: Cassel.
Slater, R.O. dan Teddlie, C. 1992. Toward a theory of school effectiveness and leadership. School Effectiveness and School Improvement, 3(4):242-257.
Stoll, L. dan Fink, D. 1992. Effecting school change: the halton approach. School Effective­ness and School Improvement, 3(1):19-41.
Taylor, B. O. dan Levine, D. V. 1991. Effective school project and school-based manage­ment. Phi Delta Kappan, Januari. 394-397.
Townsend, T. J994. Effecting Schooling For the CommUllity. London and New York:, Routledge.
Virgilio, I., Teddlie, C., dan Oescher, I. 1991. Variance and context differences in teaching at differentialli effective schools. School Effectiveness and School Improvement, 2(2):152-168.
Wayson, W. W., Mitchell, B. M., Piruiel, G. S., dan Landis, D. 1988. Up From Excellence: Impact of the Excellence Movement on Schools. Bloomington, Indiana: Phi Delta Kappa Educational Foundation.
Witte, J. F. dan Walsh, D. J. 1990, A systematic test of the effective school model. Educational Evaluation and Policy Analysis, 12(2):188-212.










*) Artikel Jurnal Pendidikan Humaniora dan Sains. PPs IKIP Malang, Tahun 2, Nomor 1 & 2, September 1995 & April 1996.

Strategi Pembelajaran

Strategi pengajaran merupakan hal yang penting dalam kegiatan bel­ajar meng­­ajar di kelas, karena strategi dapat menciptakan kondisi bel­ajar yang men­dukung pencapaian tujuan pembelajaran. Selain itu, strategi peng­ajaran yang di­pilih dan dipergunakan dengan baik oleh guru dapat mendo­rong siswa untuk aktif mengikuti kegiatan belajar di dalam kelas.
Pemilihan strategi mengajar harus dilandaskan pada pertimbangan me­­nem­­­­patkan siswa sebagai subjek belajar yang tidak hanya menerima se­cara pa­sif apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus menempatkan sis­wanya se­bagai in­san yang secara alami memiliki pengalaman, penge­ta­­huan, keinginan, dan pikiran yang dapat dimanfaatkan untuk belajar, baik secara individual maupun secara berkelompok. Strategi yang dipilih guru adalah stra­tegi yang dapat membuat sis­wa­nya mempunyai keya­kinan bahwa dirinya mampu belajar dan dapat meman­faat­kan potensi sis­wa seluas-luasnya. Di samping itu, pemilihan strategi amat bergantung pada tujuan pem­belajaran yang hen­dak dicapai, macam dan jumlah siswa yang terlibat di da­lam pro­ses pembel­ajaran, dan lama waktu yang tersedia untuk mencapai tu­juan yang dimaksud.
Untuk keperluan itu, diperkenal­kan beberapa ciri kegiatan pembel­ajaran efektif yang dapat menuntun guru dalam memilih dan menentukan stra­tegi yang tepat di dalam proses pembelajaran. Dengan pemilihan dan penentuan strategi yang tepat, akan membantu meningkatkan minat tingkat keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Ciri-ciri pembelajaran efektif yang dimaksudkan adalah sebagai berikut ini.
(i) Pembalikan Makna dan Hakikat Belajar
Proses membangun makna dan pemahaman terhadap informasi, kon­sep, dan pe­ngalaman dilakukan sendiri oleh siswa atau bersama orang lain melalui proses penyaringan dengan persepsi, pikiran, atau penge­tahuan awal, dan perasaan siswa. Mengajar merupa­kan kegiatan par­tisipasi dan fasilitasi guru dalam membangun pe­ma­haman siswa dalam wujud pikiran dan tindakan; seperti bertanya secara kritis, me­min­ta keje­las­an, atau me­nyajikan situasi yang tampak bertentangan dengan pe­ma­haman siswa se­hingga siswa 'terdorong' untuk memperbaiki pema­ha­m­an­nya. Namun, par­tisipasi dan fasilitasi guru jangan sampai mere­but oto­ritas atau hak siswa dalam membangun gagasannya dan harus selalu me­nem­­pat­kan pemba­ngun­an pemahaman itu sebagai tanggung jawab siswa itu sendiri.
(ii) Berpusat pada siswa
Setiap siswa adalah individu yang unik, siswa yang satu berbeda de­ngan siswa lainnya, misalnya dari aspek minat, kemam­puan, kese­nang­an, pengalaman, cara, dan gaya belajar. Sebagian siswa lebih mu­dah belajar dengan dengar-baca (audio-verbal), siswa lain lebih mudah de­ngan melihat (visual), dan sebagian lainnya dengan cara gerak (ki­nes­thetic). Hal ini menuntut kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pem­belajaran, waktu belajar, alat/media belajar, dan cara peni­laian yang be­ragam sesuai karakteristik siswa. Artinya, kegiatan pem­bel­ajaran ha­rus mem­per­hatikan ba­kat, minat, kemampuan, cara dan strategi belajar, mo­tivasi bel­ajar, dan latar belakang sosial siswa sehing­ga dapat men­dorong siswa untuk mengembangkan potensi yang dimi­liki­nya secara optimal.
(iii) Belajar dengan mengalami
Pengalaman langsung melalui indrawi yang me­mungkinkan mereka mem­­­peroleh informasi dengan melihat, mendengar, meraba/menjamah, mencicipi, dan mencium. Kegiatan pembelajaran harus menyediakan peng­a­laman nyata dalam kehidupan sehari­-hari dan atau du­nia kerja yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah dan prinsip ilmu yang dipelajari; Untuk beberapa topik yang tidak mungkin dise­diakan peng­a­laman nyata, guru dapat menggantikannya dengan model atau situasi bu­atan dalam wujud simulasi atau pengalaman melalui alat dengar­-pan­dang (audio-visual).
(iv) Mengembangkan keterampilan kognitif, sosial, dan emosional
Kegiatan pem­belajaran memberi peluang dan mendorong siswa untuk membangun pemahaman dengan meng­komunikasikan gagasannya ke­pa­da siswa lain atau guru. Melalui interaksi lingkungan sosialnya, siswa akan bekerja sama dalam kelompok yang dapat mempertajam, memper­dalam, memantapkan, atau me­nyem­purnakan pemahaman dan gagas­an itu karena memperoleh tanggapan dari siswa lain atau saling meng­isi. Kegiatan belajar berkelom­pok atau berpasangan memungkinkan sis­wa bersosialisasi dengan meng­hargai perbedaan pendapat, sikap, ke­mam­puan, dan prestasi dan berlatih untuk bekerja sama yang dapat me­num­buhkembangkan rasa empati dalam diri siswa yang akhirnya dapat mem­bangun saling pengertian dan hidup bersama secara har­monis (learning to live together).
(v) Mengembangkan keingintahuan, imajinasi, dan fitrah ber-Tuhan
Kegiatan pembelajaran harus dapat me­­num­­buhkan rasa ingin tahu, ima­jinasi, dan fitrah ber-Tuhan yang me­ru­pakan fitrah siswa sebagai ma­nu­sia. Rasa ingin tahu dan imajinasi merupakan modal dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif. Sementara, rasa fitrah ber­Tuhan merupa­kan embrio atau cikal bakal untuk bertaqwa kepada Tuhan.
(vi) Belajar sepanjang hayat
Kemampuan dan kemauan untuk belajar sepan­jang hayat agar bisa ber­tahan (survive) dan berhasil (sukses) dalam meng­hadapi setiap ma­salah sambil menjalani proses kehidupan sehari-hari dita­namkan de­ngan bekal keterampilan belajar yang meliputi pengembangan rasa per­caya diri, ke­ingintahuan, kemampuan memahami orang lain, ke­mam­­puan berko­mu­nikasi dan bekerja sama supaya mendorong dirinya un­tuk senantiasa bel­ajar, baik secara formal di sekolah maupun secara in­formal di luar kelas. Kegiatan pembelajaran perlu mendorong siswa un­tuk dapat melihat diri­nya secara positif, mengenali dirinya baik kelebihan mau­pun ke­ku­rangannya untuk kemudian dapat mensyukuri apa yang telah di­anu­gerahkan Tuhan YME kepadanya.
(vii) Perpaduan kemandirian dan kerjasama
Kegiatan pembelajaran memberi peluang yang menuntut dan menan­tang siswa untuk bekerja sama, berkom­petisi, dan mengembangkan so­li­daritas­­nya. Kegiatan-kegiatan itu memberi­kan kesempatan kepada sis­wa untuk me­ngembangkan semangat berkom­petisi secara sehat untuk memperoleh penghar­gaan, bekerja sama, dan solidaritas. KBM perlu me­­nyediakan tugas-tugas yang memungkinkan siswa bekerja secara mandiri maupun bekerja secara kelompok.
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran efektif tersebut, maka ada beberapa strategi yang dapat dipilih dan digunakan oleh guru dalam melaksanakan pem­­­bel­ajaran yang efektif, di anta­ranya adalah (1) strategi pembelajaran ber­basis masa­lah, (2) strategi pembelajaran inquiry & discovery, (3) strategi pem­belajaran berbasis pro­yek/tugas, (4) strategi pembel­ajaran kooperatif, (5) pembelajaran partisipatori, (6) strategi pembelajaran scaffolding.
Semua strategi pembelajaran tersebut didisain untuk mengoptimalkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dan untuk mem­bantu siswa secara kreatif merekonstruksi sendiri pemahamannya terhadap topik-topik pembelajaran. Di samping itu, masing-masing strategi mengan­dung elemen-elemen strategi interaksi pembelajaran yang dapat menunjang pe­nguatan aspek pribadi, sikap, dan perilaku tertentu siswa yang diharapkan dapat menjadi dampak pengiring pembelajaran.
1. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah menggunakan masalah dunia nyata se­bagai kon­teks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan kete­rampilan pemecahan masalah serta memperoleh pengetahuan dan kon­sep esen­sial dari materi pelajaran. Pembelajaran bermakna hanya dimung­kinkan terjadi bila siswa dapat mengerahkan proses berpikir tingkat tinggi, seperti pada level analisis, sintesis, dan evaluasi. Ka­rena itu, guna merang­sang siswa berpikir tingkat tinggi, mereka perlu di­orientasikan pada situasi ber­masalah termasuk bagaimana belajar, dengan menggunakan fenomena di dunia nyata sekitar
Pembelajaran berbasis masalah dapat ditempuh melalui lima tahap se­ba­gai berikut.
Þ Tahap 1: orientasi siswa kepada masalah.
Guru menjelaskan tujuan pem­belajaran dan logistik yang dibutuhkan, serta memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
Þ Tahap 2: mengorganisasi siswa untuk belajar.
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorgani­sasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Þ Tahap 3: membimbing penyelidikan individual dan kelompok.
Guru men­­dorong siswa untuk me­­ngum­­­­­­­­­pulkan informasi yang sesuai dan me­laksana­kan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan peme­cah­an masalahnya.
Þ Tahap 4: mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Guru memban­tu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model, serta membantu mereka mambagi tugas dengan temannya.
Þ Tahap 5: menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Guru membantu siswa me­­la­­ku­kan refleksi atau evaluasi terhadap pe­nye­lidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.
2. Strategi Pembelajaran Inquiry & Discovery
Pembelajaran inquiry & discovery mendorong siswa untuk mengalami, melakukan per­cobaan, dan menemukan sendiri prinsip-prinsip dan konsep yang di­ajar­kan. Stra­tegi pembelajaran inquiry & discovery memiliki beberapa keuntungan, seperti da­pat mem­bangkitkan curiosity, minat, dan motivasi sis­wa untuk terus belajar sampai dapat menemukan jawaban. Di samping itu, melalui penerapan stra­tegi inquiry & discovery, siswa juga dapat belajar memecahkan masalah secara man­diri dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis se­bab mereka harus meng­analisis dan mengutak-atik data dan informasi.
Secara operasional, pembelajaran inquiry & discovery dapat ditempuh melalui tahapan berikut:
Þ Sajikan situasi teka-teki (puzzling situation) yang sesuai dengan tahapan perkembangan siswa. Jelaskan prosedur inkuiri dan sajikan masalah.
Þ Minta siswa mengumpulkan informasi melalui observasi atau berdasar peng­alaman masing-masing.
Þ Minta siswa menganalisis dan menyajikan hasil dalam bentuk tulisan, gam­bar, bagan, tabel, atau karya lain.
Þ Minta siswa mengkomunikasikan dan menyajikan hasil karyanya, mi­sal­­nya dalam bentuk penyajian di kelas, menempelkan di majalah dinding, menulis di koran, dsb.
Þ Dalam penyajian di kelas, bangkitkan tanggapan dan penjelasan siswa lain. Minta tanggapan balik (counter-suggestions) dan selidiki tanggap­an sis­wa. Hadapkan mereka dengan demonstrasi-demonstrasi tam­bah­an un­tuk meng­eksplorasi lebih jauh fenomena.
Þ Ciptakan lingkungan yang dapat menerima jawaban salah tapi masuk akal. Selalu minta siswa memberi alasan atas jawaban-jawaban mere­ka. Sajikan tugas-tugas yang berkaitan kemudian cermati dan beri balik­an atas pemikiran yang diajukan siswa.
3. Strategi Pembelajaran Berbasis Proyek/Tugas
Pembelajaran berbasis proyek/tugas (project-based/task learning) di­tandai dengan pengelolaan lingkungan belajar yang memungkin­kan siswa me­lakukan penyelidikan terhadap masalah otentik termasuk pen­dalaman ma­teri dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lain­nya. Dalam pem­bel­ajaran berbasis proyek, siswa diberikan tu­gas atau pro­yek yang kompleks, cukup sulit, lengkap, tetapi realistik dan kemudian di­be­rikan bantuan secukupnya agar mereka dapat menyelesaikan tugas. Di sam­ping itu, penerapan strategi pembel­ajaran berbasis proyek/­tugas ini mendo­rong tumbuhnya kompetensi nurturant seperti kreativitas, ke­mandirian, tanggung jawab, keper­cayaan diri, dan berpikir kritis dan analitis.
Implementasi pembelajaran berbasis proyek/tugas didasarkan kepada empat prinsip berikut ini.
Þ Membuat tugas bermakna, jelas, dan menantang
Guna mempertahankan tingkat keterlibatan siswa dalam proses pem­bel­ajaran, maka tugas yang diberikan kepada siswa harus cukup ber­makna dan memiliki tujuan yang jelas. Siswa perlu mengetahui de­ngan tepat apa yang mereka harus kerjakan, mengapa mereka me­nger­jakan pekerjaan itu, dan apa yang dibutuhkan untuk menyele­sai­kan pekerjaan itu.
Þ Menganekaragamkan tugas-tugas
Pilihan tugas yang beraneka ragam dapat menambah daya tarik tugas pe­kerjaan kelas dan pekerjaan rumah. Jika tugas belajar yang dibe­rikan cu­kup bervariasi, siswa dapat lebih termotivasi dan lebih terlibat aktif dalam menger­jakannya. Pilihan mengenai tugas belajar tidak ter­batas dan tidak ada alasan bagi guru untuk membuat jenis tugas yang sama dari hari ke hari.
Þ Menaruh perhatian pada tingkat kesulitan
Menetapkan tingkat kesulitan yang cocok atas tugas-tugas yang dibe­rikan kepada siswa merupakan satu bahan baku penting untuk menja­min ke­ter­libatan berkelanjutan yang dibutuhkan untuk penyelesaian tugas-tugas ter­sebut. Jika siswa diharapkan untuk bekerja secara man­­diri, tugas yang dibe­ri­kan harus memiliki tingkat kesulitan yang men­jamin kemungkinan berhasil tinggi. Siswa tidak akan tertantang ketika tugas-tugas yang dibe­rikan terlalu mudah. Tugas yang baik per­lu memiliki tingkat kesulitan cu­kup sehingga kebanyakan siswa me­mandangnya sebagai sesuatu yang menan­tang, na­mun cukup mudah sehingga kebanyakan siswa akan me­nemukan pemecah­annya dan mengerjakan tugas tersebut atas jerih pa­yah sendiri.
Þ Memonitor kemajuan siswa
Salah satu tugas penting guru adalah memonitor tugas-tugas pe­ker­jaan kelas dan pekerjaan rumah. Monitoring tersebut bertujuan un­tuk me­nge­tahui apa­kah siswa memahami tugas mereka melalui peme­rik­saan pe­kerjaan siswa dan pe­ngem­balian tugas dengan umpan ba­lik? Guru harus selalu me­nye­diakan waktu 5 atau 10 menit untuk ber­keliling di antara sis­wa yang be­kerja untuk memastikan apakah mere­ka memahami dan me­ngerjakan dengan benar tugas yang diberikan. Apabila siswa bekerja ber­kelompok, maka guru hendaknya berada dalam kelompok tersebut secara bergantian dan berke­liling di antara sis­wa yang bekerja secara mandiri. Selanjutnya, guru perlu menyiap­kan waktu untuk mengoreksi pekerjaan yang dihasilkan siswa dan mengembalikan kepada mereka dengan umpan balik, ter­masuk mem­beri reinforcement dalam bentuk reward bagi hasil karya yang baik dan catatan-catatan penyempurnaan bagi karya yang belum optimal.
Beberapa contoh tugas/proyek berikut dapat dipilih sebagai peng­alaman belajar untuk beberapa mata pelajaran pada tingkatan sekolah dasar.
® Menggubah syair lagu dan bernyanyi
® Bermain peran
® Menggambar dan mengarang
® Menulis prosa, puisi, pantun, gurindam
® Mengisi teka-teki
® Mengajukan pertanyaan penelitian
® Membuat rangkuman/sinopsis
® Mendemonstrasikan hasil temuan
® Mencari pemecahan soal-soal Matematika
® Membuat soal cerita
® Mengukur panjang, berat, suhu
® Merencanakan dan melakukan percobaan
® Merencanakan dan melakukan penelitian sederhana .
® Membuat buku harian
® Membuat kamus
® Melakukan simulasi dengan komputer
® Mengelompokkan sambil mengidentifikasi (mengenali ciri) benda
® Mengumpulkan dan mengoleksi benda dengan karakteristiknya
® Membuat komik
® Membuat ramalan dan berekstrapolasi
® Membuat grafik, diagram, chart atau grafik
® Membuat jurnal
® Menyiapkan dan melaksanakan pameran
® Menggunakan alat (alat ukur, alat potong, alat tulis)
® Praktek menjadi khatib atau pendeta
® Praktek berceramah
® Membuat poster
® Membuat model (seperti kotak, silinder, kubus, segitiga, lingkaran)
® Menata pajangan
® Menata buku perpustakaan
® Membuat daftarpertanyaan untuk wawancara
® Melakukan wawancara
® Membuat denah
® Membuat catatan hasil penjelasan hasil pengamatan
® Mencari informasi dari ensiklopedia
® Melakukan musyawarah
® Mengunjungi dan menemukan alamat web-site
® Bernegosiasi
® Mendiskusikan wacana dari media cetak/media elektronik
® Membuat cerita gambar
® Membuat resensi buku
® Mengkritisi suatu artikel
® Mengkaji pola tulisan suatu artikel
® Menulis artikel ilmiah popular
® Membuat kamus
® Membuat ensiklopedia
4. Strategi Pembelajaran Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerja dalam ke­lom­pok kecil untuk saling membantu belajar satu sama lain. Strategi pem­belajaran ini, me­mungkinkan pengembangan sejumlah kompetensi nurtu­rant pada diri siswa, seperti:
Þ Mengembangkan keterampil­an komunikasi, kerja sama, kepekaan so­sial, tanggung jawab, tenggang rasa, dan penyesuaian sosial.
Þ Membangun persahabatan, rasa saling percaya, kebiasaan bekerja­ sa­ma, dan sikap prososial.
Þ Memperluas perspektif wawasan, keyakinan terhadap gagasan sendiri, rasa harga diri, dan penerimaan diri.
Þ Memungkinkan sharing pengalaman dan saling membantu dalam meme­cah­kan masalah pembelajaran.
Þ Mengoptimalkan penggunaan sumber belajar dan pencapaian hasil bel­ajar.
Secara operasional, pembelajaran kooperatif dapat diterapkan melalui metode Student Teams Achievement Divisions (STAD) dan metode Inves­tigasi Kelompok (Group Investigation)
Pelaksanaan metode Student Team Achievement Divisions ditempuh de­ngan beberapa tahapan sebagai berikut:
Þ Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing terdiri atas 4 atau 5 anggota.
Þ Setiap tim memiliki anggota heterogen (jenis kelamin, ras, etnik, ke­mam­puan belajar).
Þ Tiap anggota menggunakan lembar kerja akademik.
Þ Tiap anggota saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusi.
Þ Secara individual atau tim, tiap minggu atau tiap dua minggu dilakukan eva­luasi oleh guru untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan yang telah dipelajari.
Þ Setiap siswa dan setiap tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan ajar. Siswa atau tim yang meraih prestasi tertinggi atau men­capai standar tertentu diberi penghargaan.
Metode Invistigasi Kelompok dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut:
Þ Seleksi topik, para siswa memilih berbagai sub-topik dalam satu wilayah ma­salah umum terkait dengan tujuan pembelajaran.
Þ Organisasi, para siswa dibagi ke dalam kelompok yang berorientasi pada tu­gas dan beranggotakan 2 - 6 orang dengan komposisi he­terogen.
Þ Merencanakan kegiatan kerjasama, siswa bersama guru meren­ca­nakan ber­bagai prosedur belajar khusus, tugas, dan tujuan umum yang sesuai dengan sub-topik yang telah dipilih.
Þ Tahap implementasi. Siswa melaksanakan rencana yang telah disu­sun. Do­rong siswa menggunakan berbagai sumber, baik di dalam maupun di luar sekolah.
Þ Analisis dan sintesis, siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang diperoleh dan membuat ringkasan untuk disajikan di depan kelas.
Þ Penyajian hasil akhir, setiap kelompok menyajikan hasil investigasi kelom­poknya di depan kelas.
Þ Evaluasi, guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup siswa secara individu atau secara berkelom­pok, atau keduanya.
5. Strategi Pembelajaran Partisipatori
Pembelajaran partisipatori me­­nekankan pelibatan siswa untuk berpar­tisipasi dan ikut menentukan berbagai aktivitas pembelajaran. Setiap siswa ada­lah subjek yang kepentingannya perlu diperhatikan dan diakomodasi da­lam pro­ses pembelajaran. Pelibatan siswa dalam perencanaan dan penen­tuan berbagai pilihan tindakan pem­belajaran dapat meningkatkan motivasi dan komitmen siswa untuk menekuni setiap tugas pembelajaran. Di samping itu, strategi ini dapat men­do­rong tumbuh dan berkembangnya jiwa demok­ratis serta kemampuan mengemu­kakan dan menerima pendapat di kalangan siswa.
Pelaksanaan pembelajaran partisipatori dapat ditempuh melalui stra­te­gi sebagai berikut:
Þ Libatkan siswa dalam membuat perencanaan dan pilihan tindakan yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Misalnya, dalam memu­tus­kan me­nge­nai strategi umum yang perlu ditempuh, sumber pem­belajaran, cara-cara menyelesaikan tugas, bentuk dan tugas kelom­pok, dsb.
Þ Gunakan berbagai teknik, seperti brainstorming, meta-plan, diskusi kelom­pok fokus untuk mendorong semua siswa mengemu­kakan ga­gasan masing-masing.
Þ Evaluasi setiap alternatif berdasarkan kelayakan (kemampuan, sum­ber­­daya, waktu, fasilitas), kemudian sepakati pilihan yang dapat di­terima se­mua pihak. Dimungkinkan setiap individu atau kelompok me­milih ca­ranya masing-masing untuk mencapai tujuan sepanjang ber­kontribusi pada pencapaian tujuan pembelajaran.
Þ Dorong siswa melaksanakan alternatif tindakan secara konsisten, na­mun tetap memberi peluang dilakukannya refleksi, revisi, dan per­ubahan rencana tindakan.
6. Strategi Pembelajaran Scaffolding
Pembelajaran Scaffolding merupakan praktik assisted learning, yakni teknik pemberian dukungan belajar yang pada tahap awal diberikan secara lebih terstruktur, kemudian secara berjenjang sebagai peranan guru dalam men­dukung perkem­bangan siswa dan menyediakan struktur dukungan untuk men­capai tahap atau level berikutnya. Ketika pengetahuan dan kompe­tensi belajar siswa meningkat, guru secara berangsur-angsur mengurangi pem­berian dukung­an. Sesungguhnya, strategi pembelajaran scaffolding mendo­rong siswa menjadi pelajar yang mandiri dan mengatur diri sendiri (self- re­gulating). Jika siswa belum mam­pu men­­ca­pai kemandirian, guru kembali ke sistem dukungan untuk mem­bantu siswa memperoleh kemajuan sampai me­reka mampu mencapai keman­dirian.
Beberapa keuntungan pembelajaran Scaffolding adalah:
Þ Memotivasi dan mangaitkan minat siswa dengan tugas belajar.
Þ Menyederhanakan tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan bisa dicapai oleh anak.
Þ Memberi petunjuk untuk membantu anak berfokus pada pencapaian tujuan.
Þ Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan anak dan solusi standar atau yang diharapkan.
Þ Mengurangi frustasi dan resiko.
Þ Memberi model dan mendefenisikan dengan jelas harapan mengenai aktivitas yang akan dilakukan.
Teknik pembelajaran scaffolding dapat dilakukan dengan format: (1) pemberian model perilaku yang diharapkan, (2) pemberian penjelasan, (3) mengundang siswa berpartisipasi, (4) menjelaskan dan mengklarifikasi pema­haman siswa, dan (5) mengundang siswa untuk mengemukakan pendapat.
Secara operasional, strategi pembelajaran scaffolding dapat ditempuh melalui tahapan berikut.
Þ Asesmen kemampuan dan taraf perkembangan setiap siswa untuk me­nen­tukan Zone of Proximal Development (ZPD).
Þ Jabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rinci se­hingga dapat membantu siswa melihat zona yang akan di-scaffold.
Þ Sajikan tugas belajar secara berjenjang sesuatu taraf perkembangan sis­wa. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penje­lasan, per­ingat­an, dorongan (mo­tivasi), penguraian masalah ke dalam langkah peme­cah­an, dan pembe­rian contoh (modeling).
Þ Dorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.
Þ Berikan dukungan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda­ mata (reminders), dorongan, contoh, atau hal lain yang dapat meman­cing siswa bergerak ke arah kemandirian belajar dan pengarahan diri.
Dalam mengimplementasikan strategi-strategi pembelajaran yang di­sa­­rankan, guru harus selalu mengingat bahwa kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya senantiasa diarahkan untuk pencapaian dampak instruksi­onal dan dampak pengiring. Dampak instruksional bermuara pada kecer­dasan inte­lek­tual (IQ), sedangkan dampak pengiring bermuara pada kecer­dasan emo­sional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Untuk keperluan itu, diharapkan guru dapat memilih dan me­rancang serta mengembangkan me­dia pembelajaran agar dapat memudahkan pencapaian IQ, EQ, dan SQ ter­sebut. Contoh pene­rap­an strategi pembelajaran dalam rancangan satuan acara pembelajaran atau skenario pembelajaran dapat dilihat pada bagian Lampiran F.

jurnal ilmiah

kumpulan